Pada Warnamu, Aku Jatuh

Oleh : Aulia Dwi Rakhmawati


            Duduk di sebelah danau ini di pagi hari, bak duduk di tepian surga. Kau tak akan pernah bisa lupa, halus dan lembutnya belaian-belaian angin yang senantiasa ada ketika kau duduk di sini. Sejuknya hawa yang masuk dari ubun-ubun hingga ke ujung jari-jemari kakiku, membuat sweater dan scarf ini harus selalu setia melekat pada tubuhku. Aku memang terlihat ringkih, tapi tidak. Aku tidak ringkih, aku hanya sedikit. . . Lemah. Lalu pada bau rumput yang seperti tak hendak mengalah pada bau lili, seperti aku yang tak hendak mengalah pada coretan takdir di kertas hidup yang usang lagi suram.
“Fi, kamu lagi ngapain di sini ?” Suara seorang pria muda memanggil menyebut namaku.
“Lagi duduk.” Ku jawab datar.
“Iya, kakak tau. Tapi, kamu kenapa nggak ijin sama kakak kalo’ kamu mau kesini ?”. Kini pria itu duduk di samping kananku.
“Nggak apa-apa koq, kak.” Jawabku cepat dan datar.
“Ck, ya udah deh. Ini, kakak bawain sarapan buat kamu. Sup ayam dan brokoli, kesukaan kamu. Dimakan, ya.” Mendengar diucapkannya nama makanan kesukaanku,  ditambah pula dengan aroma sup yang menyusup masuk ke dalam hidungku kemudian ke paru-paru, lambungku terasa seperti teriak-teriak minta diberi makan.
“Krruuuuukkk !!” Akhirnya suara memalukan itu keluar juga. Aku lapar.
“Wah, wah, waaahh ! kamu lapar, ya ? Ya udah, ini kakak suapin, yaa. Ayok buka mulutnya ! Aaaahmm.” Ucapnya sambil menyendokkan sesendok sup hangat pada mulutku. Aku dengan rela membuka mulut dan membiarkan sup itu masuk menjalar ke dalam lambungku. Hangat.
“Terima kasih, Kak.” Ucapku tanpa sadar.
“Untuk apa ?”.
“Untuk semuanya.”
“Hem, nggak perlu dipikirkanlah, yang penting kamu tetep sehat. Oke ?” Sekarang pria muda itu mengusap lembut rambutku yang hitam dan lurus. Ku jawab dengan senyuman kecil di ujung bibir tipisku. Kemudian dia kembali menyuapiku. Disuapi seperti ini, aku merasa seperti anak kecil. Padahal aku bisa makan dari sendok dan mangkukku sendiri. Tapi kakak sudah tidak mengizinkaku makan dengan tanganku sendiri. Karena terakhir kali aku makan sendiri, aku menumpahkan sup yang masih panas ke atas pangkuanku. Dan sup itu melecetkan pahaku. Itu terakhir kalinya aku makan sendiri, sayangnya aku lupa kapan hal itu terjadi. Aku rasa sudah cukup lama. Tapi panasnya sup itu masih bisa ku rasakan di kedua pahaku. Panas dan seperti terbakar.
“Yak, sudah habis sarapanmu, kakak senang kamu mau menghabiskan sarapanmu, Fi.” Ujarnya padaku sembari menyuapkan sesendok sup padaku, sepertinya itu suapan terakhir di sarapanku pagi itu.
“Sup-nya enak, kak.” Aku telat memuji. Harusnya aku memuji sup itu sejak suapan pertama.
“Benarkah ? Hehehe, ini kakak yang buat. Kakak belajar masak sup kesukaan kamu. Rupanya kamu suka. Syukurlah.”
“Iya, kak. Aku suka’ sup buatan kakak.” Aku menimpali sambil sedikit tersenyum lagi.
“Ya, udah. Kakak pulang ya, masih ada proyek yang belum kakak kelarin. Kamu nggak apa-apa di sini sendiri ?”
“Nggak apa-apa, kak. Jangan khawatir.”
“Oke. Kakak pulang, ya. Ini kakak tinggalin bel buat kamu. Kalo ada apa-apa, langsung bunyikan aja bel-nya, ya. Kakak segera datang.”
“Iya.”
“Ya, udah. Kamu hati-hati.”
“Iya, kak.”
Namanya Rudi. Kakak kandungku. Sudah tamat Strata 3 dari salah satu universitas negeri di Bandung. Starta 3 bidang Arsitektur. Dia arsitek. Dia begitu sayang padaku. Ya kalau tidak sayang, dia tidak akan mau mengurusiku di sela-sela jadwal pekerjaannya yang padat. Syukur, dia sudah mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan yang cukup maju untuk membiayai harga-harga kehidupan di dunia ini. Jabatannya juga lumayan tinggi. Tapi dia tidak pernah sombong, dia selalu merendah hati. Karena kerendah-hatian adalah salah satu ajaran orang tua kami. Dan sekarang mereka sudah di surga, bersama Allah SWT. Aku bahagia, akhirnya mereka sampai pada kebahagiaan dan kebersamaan yang abadi di surga, bersama dengan sebelah hatiku yang mereka bawa.
Maka kini hanya tinggal aku dan kak Rudi. Aku sayang padanya, dia juga  padaku. Meski aku hanya mengeluarkan jawaban-jawaban singkat bila dia bertanya, tapi dia tau aku sangat menyayanginya. Teramat sangat sayang. Dan aku tidak pernah sedikitpun bisa membayangkan, bila kak Rudi pergi meninggalkanku. Mungkin aku bisa mati.
uvu
Sepertinya waktu sudah semakin sore, aku mau pulang. Aku tidak suka duduk di tepi danau ini di sore hari. Sore adalah waktu dimana siang hari menuju malam hari. Waktu penutupan hari. Sore, waktu menuju hari yang gelap. Dan aku tidak suka gelap. Walau pada kenyataannya, kegelapanlah yang saat ini membungkus pandanganku. Sudah cukup lama mataku dibungkus tabir berwarna hitam. Aku sudah tidak tau mana warna biru, mana warna jingga. Seperti apa bentuk bunga lili dan bunga mawar di taman rumahku saat ini. Seperti apa pemandangan pantai dan pegunungan. Aku sudah tidak tau. Tapi aku tau, bentuk dan aroma danau yang selalu menemaniku sepanjang hari. Aku tau danau itu tak akan pernah berubah. Pasti akan selalu sama. Ya setidaknya, danau itu tidak akan berubah sejak terakhir kali aku melihatnya, kira-kira sejak 6 tahun yang lalu.
Aku mau pulang, tapi aku takut tersesat. “Aku harus gimana ? Oh, iya ! Bel !” Aku meraba-raba tubuh bangku kayu yang aku duduki, mencari bel yang Kak Rudi tinggalkan untukku. “Ah, ini dia.” Gumamku saat menemukan bel dari kak Rudi. “Tapi, ini apa ? selembar kertas ?” Gumamku lagi ketika mendapati ada selembar kertas di bawah bel tersebut. “Oh, mungkin punya kak Rudi.” Aku mengambil kertas itu, melipatnya kemudian memasukkannya ke saku baju terusanku. Kemudian aku membunyikan bel itu. Tidak lama kemudian, kak Rudi datang dan menanyaiku.
“Hei, udah puas nikmatin hari di sini ?” tanya kak Rudi yang aku tau dari suaranya, dia pasti sedang tersenyum.
“Hm, iya kak. Kak, kakak ninggalin ini, nggak ?” aku bertanya sambil mengeluarkan kertas tersebut dari dalam saku baju terusanku lalu menyodorkannya, ke arah depan.
“Apa, nih ?” kak Rudi mengambil kertas itu dan duduk di sebelahku, mungkin dia langsung membuka lipatan kertas itu. “Ini bukan punyaku. Kamu yang nulis ini ?”
“Aku nggak bisa nulis, kak. Aku jugak nggak bawa kertas dari rumah, koq.”
“Lha, trus ini ?”
“Memang apa isi tulisan di kertas itu, kak ?” Aku penasaran.
“Hm, kayaknya puisi. Soalnya kalimat-kalimatnya nggak seperti kalimat-kalimat dalam surat. Kamu mau kakak bacain ?” Aku menjawab dengan sekali anggukkan kepala. “Baiklah.”
Puteri,
Sore hari tidak selalunya menjadi penutup hari
Kadang penutup hari, adalah kematian
Aku tau, puteri adalah yang paling tegar di tepian ini
Maukah puteri mengajariku tentang bentuk ketegaran ?
“Puteri ?” Aku menggumam sendiri.
“Itu kamu ?” Kak Rudi balik bertanya. Aku menggeleng.
“Bukan. Aku Nggak tau, kak. Udah yuk, pulang. Mungkin yang buat itu cuman orang iseng. Ayo pulang, kak.” Aku merengek dan meremas tangan kak Rudi.
“Ayo, ayo. Jangan merengek gitu donk, jelek lho.” Kak Rudi meledekku. Kemudian kak Rudi mengenggam tanganku, menuntunku pulang ke rumah. Rumah yang penuh sesak dengan cahaya kasih sayangku dan Kak Rudi. Aku mau selamanya rumah kami itu menjadi saksi kasih sayang kami sepanjang waktu, sepanjang umur kami.
uvu
Keesokkan fajarnya, aku kembali duduk di bawah pohon mangga yang belum berbuah di sebelah danau yang terus memperhatikanku ini. Iya, bukan aku yang memperhatikannya. Kali ini hawa di tempat ini lebih hangat dari sebelumnya. Kenapa ? Entah. Aku pun heran. Mungkin, karena secuil sajak misterius yang kemarin sore aku dengar. Mungkinlah.
Pagi ini, kak Rudi tidak menyuapiku. Dia harus sesegera mungkin pergi ke kantor. Entah apa alasannya, tapi yang pasti nanti sore dia akan menemuiku di tepian ini. Dia berjanji kepadaku, akan memberikanku sebuah kejutan. Tapi kenapa harus sore ? Kenapa harus menjelang malam ? Bukankah kak Rudi tau aku tidak suka kegelapan ? Ah, tapi aku percaya padanya. Kak Rudi pasti datang kesini nanti sore, aku harus tetap menunggunya bersama wanginya angin.
“Wahai, puteri. Maukah engkau mengajariku tentang bentuk ketegaran ?” tiba-tiba suara seseorang yang aku yakin itu suara laki-laki, mengejutkanku. Entah darimana asal suara itu. Persaaanku aku hanya sendirian di tempat ini, tapi kenapa ada suara orang lain ? Itu bukan suara kak Rudi, bukan. Lantas siapa ?
“Siapa kamu ?” aku mulai panik, takut kalau-kalau orang asing itu akan melukaiku.
“Puteri, janganlah takut. Aku sungguh tidak akan pernah terlihat dari balik matamu, karena aku hanya sebentar di sini. Aku hanya ingin engkau wahai Puteri, menguat-nguatkan hatimu. Karena kehidupan ini dan senja hari, tidaklah segulita yang engkau bayangkan. Mungkin saat ini engkau tengah menantikan kedatangan cahaya yang akan menerangimu selamanya, tapi ingat Puteri, cahaya itu bisa tiba-tiba padam, dan meninggalkanmu dalam gulitanya pandanganmu. Belajarlah mencintai indahnya kehidupan dan senja, Puteri. Senja itu seindah hidup, ketika engkau menjalankannya dengan orang yang engkau sangat sayangi. Puteri, ku berikan padamu setangkai mawar berwarna senja, berwarna oren. Semoga bunga ini bias mengingatkanmu pada indahnya senja. Puteri, aku harus pamit darimu. Orang yang engkau cintai akan segera datang. Sampaikan salamku padanya.” Setelah pamit, orang asing itu menyisipkan sesuatu di dalam genggaman tanganku, seperti tangkai bunga.
“Hei ! tunggu dulu ! Maksudmu apa ?! Hei !! Kamu Siapa ?!!”
“Fi, Luthfi ! Bangun, Fi ! Kamu kenapa tidur di sini ?” Suara kak Rudi memecah jeritan-jeritanku. Aku ketiduran di atas bangku kayu itu.
“Apa ?!! Kak Rudi ! Kak !” Aku menggapai-gapai tangan kak Rudi, aku panik.
“Hei, kamu kenapa ? Ini mawar oren kamu dapat dari mana ?”
“Mawar oren ?” Aku memastikan bahwa tangkai yang ku genggam adalah tangkai bunga mawar. “Ha, aku nggak tau kak. Tadi aku mimpi ada orang asing yang cerita ke aku dan ngasih aku bunga ini. Aku nggak paham cerita dia.”
“Ck, ya udah. Nggak usah diingat lagi. Yang penting kamu nggak kenapa-kenapa, Fi. Hmm, lalu kamu ingat kan, kakak mau kasih kejutan buat kamu ?” Ku jawab dengan sebuah anggukkan. “Yep, ini sederhana. Tapi kakak yakin kamu pasti suka.” Aku mendengar dentingan musik yang lembut, hatiku sangat tenang saat mendengarnya. “Ini kotak musik. Kamu bisa buka kapan aja waktu kamu kangen sama kakak. Dan, kakak mau ngajak kamu melukis senja. Kamu tau, senja itu indah, Fi. Seindah kamu. Seindah hidupmu. Kamu senjanya kakak. Tapi sayangnya, kamu selalu takut ketika senja datang. Sekarang, kakak mau ajarkan kamu melukis senja.” Kak Rudi meraih lenganku dan menggerakkannya di udara, persis seperti melukis di atas kanvas. “Kamu tau, saat ini ada matahari tenggelam di depan kita. Senja di depan kita, Fi.”
Aku sudah paham, teka-teki ini. Tentang hidup, senja, dan kak Rudi. Aku senjanya kak Rudi, aku hidupnya. Begitu sebaliknya. Dan aku mulai mencintai kak Rudi, dan juga senja. Untuk pertama kalinya aku mencintai senja. Kak Rudi adalah senjaku, hidupku. “Kak, aku jatuh cinta pada senja, dan kakak.”

Comments

Popular Posts